Fenomena Bendera One Piece Berkibar: Ini Soal Kritik Ekspresi Atas Kekecewaan Terhadap Politik Saat Ini
![]() |
Sumber: Pxfuel |
Jelang HUT RI yang ke 80, terdapat berbagai fenomena, salah satunya pengibaran Bendera Bajak Laut atau One Piece. Bendera One Piece sendiri merupakan serial Anime Manga asal Jepang yang saat ini sedang trend di dikibarkan oleh kalangan masyarakat di berbagai tempat, mulai dari mobil hingga pagar rumah. Tindakan pengibaran bendera One Piece ini memicu perdebatan di lingkungan sosial.
Sebagian pihak beranggapan bahwa fenomena pengibaran Bendera One Piece ini merupakan bentuk kritik ekspresi atas kekecewaan masyarakat terhadap perilaku politik di tanah air. Namun sebagian pihak menganggap akan kekhawatiran mengenai potensi pelanggaran terhadap simbol Negara.
Sehingga mengundang banyak pihak menanggapi soal isu ini, seperti salah satunya dari Dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Ade Marup Wirasenjaya, S.IP., M.A., memandang penyandingan kedua bendera tersebut sebagai simbol yang sarat makna. Ia menegaskan bahwa bendera Merah Putih adalah simbol kenegaraan yang wajib dihormati, namun bendera One Piece juga merepresentasikan ekspresi sosial masyarakat yang tengah kecewa terhadap situasi politik dan penyelenggaraan negara.
“Pengibaran bendera bajak laut ini lebih tepat dilihat sebagai bentuk kritik sosial politik, bukan ancaman terhadap kedaulatan. Selama bendera One Piece itu tidak dikibarkan lebih tinggi dari Merah Putih dan hanya diposisikan sebagai simbol kritik terhadap penyelenggaraan negara, saya tidak melihat itu menggerus kedaulatan. Ini adalah ekspresi teguran terhadap dominasi kekuasaan dan ketimpangan sosial yang dirasakan masyarakat,” jelas Ade saat diwawancarai pada Sabtu (2/8).
Menurutnya, fenomena pengibaran bendera One Piece ini muncul karena masyarakat sudah kehabisan ruang untuk menyuarakan kritik. Sehingga masyarakat memanfaatkan momentum peringatan kemerdekaan, yang secara simbolik sangat kuat, untuk menyampaikan pesan.
“Pesan simboliknya jelas kok, yaitu kemerdekaan jangan dibajak oleh segelintir elit. Istilah bajak laut di sini menjadi sindiran bahwa kemerdekaan yang diperjuangkan pendiri bangsa jangan sampai dinikmati hanya oleh kelompok kekuasaan saja,” ujarnya.
Esensi dari kritik tersebut adalah mengembalikan semangat nasionalisme agar tidak terjebak dalam ritual dan seremonial belaka. Sebab nasionalisme itu bukan hanya sebatas selebrasi upacara tanggal 17 Agustus. Namun, roh kemerdekaan harus terinternalisasi dalam kebijakan, perilaku elit, dan aparat negara.
Untuk mencegah adanya penindasan terhadap bendera Merah Putih, Ade menyarankan agar negara tetap mengedepankan pendekatan regulatif dengan memperkuat sosialisasi aturan tentang penggunaan simbol negara.
“Regulasinya sudah ada, posisi bendera negara itu diatur dalam undang-undang. Pemerintah harus aktif mensosialisasikan ini. Tapi saya kira fenomena ini juga harus dilihat sebagai ekspresi budaya pop yang memuat pesan kritik sosial dan politik,” paparnya.
Lebih lanjut, Ade meminta agar fenomena ini dijadikan sebagai bentuk refleksi bersama bagi para penyelenggara negara agar tidak mengabaikan suara-suara kritis masyarakat yang disampaikan melalui berbagai ekspresi budaya.
“Masyarakat masih memiliki rasa cinta dan bangga terhadap negeri ini. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk tidak sekadar merespons simbol, tetapi juga menangkap pesan-pesan substantif di baliknya,” tutup Ade.
Sumber: umy.ac.id
Komentar
Posting Komentar